Guru pembimbing :
pak Rustam
“Phytoptora infestans”
Ini merupakan salah satu dari anggota kingdom Protista yang
protista itu mirip jamur air (Oomycotina) yang bersifat pathogen (menimbulkan
penyakit) pada tanaman kentang.
SMA Negeri 112
JAKARTA BARAT
PENDAHULUAN
Organisme Penganggu
Tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik
tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman
secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu :
- hama,
- penyakit dan
- gulma.
- Hama
menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga,
tungau, vertebrata, moluska.
- Penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan
oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan
tingkat tinggi.
Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika
faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian
banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman seperti penyakit kresek dan
blas pada padi, antraknosa cabai hawar daun pada kentang dan lain sebagainya.
Sementara itu pada musim kemarau banyak masalah yang disebabkan oleh hama penggerek
batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai.
Konsep
Segitiga Penyakit :
Konsep ini berawal dari Ilmu Penyakit Tumbuhan, namun juga dapat
diterapkan pada bidang ilmu hama. Pada dasarnya penyakit hanya dapat terjadi
jika ketiga faktor yaitu :
• Inang dalam keadaan
rentan,
• Patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang
cukup, serta lingkungan yang mendukung.
• Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban,
cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor).
Dari ketiga konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah
satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul.
Kentang
merupakan salah satu komoditas sayuran yang penting di Indonesia. Penyakit
hawar daun yang disebabkan oleh jamur
Phytophthora infestans adalah penyakit yang sangat penting pada tanaman
kentang di Indonesia. Penyakit ini mempunyai makna sejarah yang penting di
Eropa, karena pada periode 1830-1845 telah menimbulkan kerusakan pada
pertanaman kentang di Eropa dan Amerika. Kerusakan yang ditimbulkan penyakit
tersebut telah menimbulkan kelaparan besar di Irlandia yang mengakibatkan
ratusan ribu penduduk meninggal. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai
The Great Famine.
Sejak saat itu, penyakit ini
telah menjadi kendala utama produksi kedua komoditas pertanian tersebut di
dunia, terutama di daerah yang beriklim sejuk dan lembab. Pada kentang, patogen hawar daun mula-mula
dideskripsi di Perancis pada tahun 1845 oleh Montagne. Pada tahun 1876, setelah
melakukan penelitian selama bertahun-tahun, Anton de Bary mengukuhkan nama
patogen Phytophthora infestans sebagai penyebab penyakit hawar daun pada
kentang.
Penyakit hawar daun sangat merusak dan sulit dikendalikan, karena
Phytophthora infestans merupakan jamur patogen yang memiliki patogenisitas
beragam. Pada umumnya, patogen ini berkembangbiak secara aseksual dengan
zoospora, tetapi dapat juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora. Jamur
ini bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan secara seksual atau
pembentukan oospora hanya terjadi apabila terjadi mating (perkawinan silang)
antara dua isolat Phytophthora infestans yang mempunyai mating type (tipe
perkawinan) berbeda.
1.
PENYEBAB dan GEJALA
PENYAKIT
HAWAR DAUN KENTANG
Penyakit
hawar daun kentang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans , yang
semula disebut Botrytis infestans Mont. Miselium interseluler tidak bersekat,
mempunyai banyak houstorium. Konidiofor keluar dari mulut kulit, berkumpul 1-5,
dengan percabangan simpodial, mempunyai bengkakan yang khas. Konidium berbentuk
buah peer, 22-32 x 16-24 µm, berinti banyak 7-32. Konidium berkecambah secara
tidak langsung dengan membentuk hifa (benang) baru, atau secara tidak langsung
dengan membantuk spora kembara, konidium dapat juga disebut sebagai sporangium
atau zoosporangium. Cendawan ini dapat membentuk oospora meskipun agak jarang.
Jamur P. infestans diketahui mempunyai banyak ras fisiologi.
Gejala
awal bercak pada bagian tepi dan ujung daun, bercak melebar dan terbentuk
daerah nekrotik yang berwarna coklat. Bercak dikelilingi oleh massa sporangium
yang berwarna putih dengan belakang hijau kelabu. Serangan dapat menyebar ke
batang, tangkai dan umbi. Perkembangan bercak penyakit pada daun paling cepat
terjadi pada suhu 18˚C - 20˚C. Pada suhu udara 30˚C perkembangan bercak
terhambat. Oleh karena itu di dataran rendah ( kurang dari 500 dpl ) penyakit
busuk daun tidak merupakan masalah. Epidemi penyakit busuk daun biasanya
terjadi pada suhu 16˚C - 24˚C. Didataran tinggi di Jawa, busuk daun terutama
berkembang hebat pada musim hujan yang dingin, antara bulan Desember dan
Februari.
Daun-daun
yang sakit mempunyai bercak-bercak nekrotik pada tepi dan ujungnya. Kalau suhu
tidak terlalu rendah dan kelembaban cukup tinggi, bercak-bercak tadi akan
meluas dengan cepat dan mematikan seluruh daun. Bahkan kalau cuaca sedemikian
berlangsung lama, seluruh bagian tanaman di atasakan mati. Dalam cuaca yang
kering jumlah bercak terbatas, segera mengering dan tidak meluas. Umumnya gejala
baru tampak bila tanaman berumur lebih dari satu bulan, meskipun kadang-kadang
sudah terlihat pada tanaman yang berumur 3 minggu.
Gambar 1. Serangan
Phytophthora Infestan pada daun kentang
Pembentukan
penyakit busuk daun ini bervariasi sesuai kondisi lingkungan. Kelembaban
relative, suhu, intensitas cahaya, dan pemeliharaan kentang itu sendiri akan
mempengaruhi gejala yang timbul. Daun yang sakit terlihat berbecak – bercak
pada ujung dan tepi daunnya dan dapat meluas ke bawah serta mematikan seluruh
daun dalam waktu 1 sampai 4 hari; hal ini terjadi jika udara lembab. Bila udara
kering jumlah daun yang terserang terbatas, bercak – bercak tetap kecil dan
jadi kering dan tidak menular ke daun lainnya.
Di lingkungan
tropis, tanaman kentang akan terus berkembang, sehingga udara umumnya inokulum
memulai awal terjadinya penyakit pada lahan baru. Di daerah dataran rendah,
tanah atau sisa – sisa tanaman diperkirakan menjadi tempat yang sesuai bagi
pathogen antara musim. Jamur juga akan bertahan hidup dalam umbi yang
terinfeksi tetap di tanah dari musim sebelumnya. Benih juga bisa terinfeksi dan
menjadi tempat hidup pathogen. Ketika tunas baru dihasilkan dari benih atau
umbi tua yang terinfeksi, jamur tersebut akan menginfeksi tunas baru tersebut,
kemudian sporulates dari pertumbuhan baru ini serta sporangia akan tersebar di
udara atau di air.
2. SIKLUS PENYAKIT HAWAR
DAUN
Patogen dapat
tersebar sampai ke batang dengan sangat cepat dalam jaringan korteks yang
menyebabkan kerusakan sel didalamnya. Selanjutnya, miselium tumbuh diantara isi
sel batang, tetapi jarang terdapat dalam jaringan vaskuler. Miselium tumbuh
menembus batang sampai ke permukaan tanah. Ketika mesilium mencapai udara
disekitar bagian tanaman miselium memproduksi sporangiospor yang dapat menembus
stomata dan menetap serta menyebar melalui daun. Sporangiospor akan terlepas
dan menyebabkan infeksi baru, sel-sel dimana miselium berada dapat mati dan
menjadi busuk, miselium menyebar luas sampai ke bagian yang sehat. Beberapa
hari setelah infeksi baru, sporangiospor timbul dari stomata dan memproduksi
banyak sporangia yang dapat menginfeksi tanaman baru.
Selama musin hujan,
sporangia terbawa sampai ke tanah. Umbi dekat permukaan tanah dapat terserang
zoospore yang bertunas dan berpenetrasi pada umbi menembus lenti sel atau
melalui luka alami atau luka akibat serangga dan alat pertanian. Cendawan
Phytophthora infestans dapat mempertahankan diri dari musim kemusim dalam
umbi-umbi yang sakit, jika umbi yang sakit ditanam, cendawan ini dapat naik ke
tunas muda yang baru saja tumbuh dan membentuk banyak konidium atau sporangium.
Demikian pula umbi-umbi sakit yang dibuang, dalam keadaan yang cocok dapat
bertunas dan menyebarkan konidium.
Karena cendawan ini dapat
membentuk oospora, maka cendawan dapat mempertahankan diri dalam bentuk ini
juga, dan konidium dapat dipencarkan oleh angin dari sumber infeksi ke tanaman
lain.
Gambar 2. Daur Hidup
Phytophthora Infestan
Daur hidup dimulai saat sporangium
terbawa oleh angin. Jika jatuh pada setetes air pada tanaman yang rentan,
sporangium akan mengeluarkan spora kembara (zoospora), yang seterusnya
membentuk pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi (Rumahlewang, 2008). Ini
terjadi ketika berada dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan
perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan berenang sampai menemukan tempat
inangnya.
Ketika keadaan lebih panas, P. infestan akan
menginfeksi tanaman dengan perkecambahan langsung, yaitu germ tube yang terbentuk
dari sporangium akan menembus jaringan inang yang akan membiarkan parasit
tersebut untuk memperoleh nutrient dari tubuh inangnya.
3. PENYEBARAN PENYAKIT
HAWAR DAUN KENTANG
Hawar daun atau busuk daun (Phytophthora
infestans) merupakan penyakit utama
pada tanaman kentang dan beberapa spesies dan famili Solanaceae dan menimbulkan
kerugian yang sangat besar di setiap pertanaman kentang dengan menunjukkan efek
pada produksi umbi.
Penyakit ini
telah dijumpai sejak awal kedua tanaman tersebut dibudidayakan oleh petani,
yaitu pada tahun 1794. Penyakit hawar daun ini menyebar luas disemua tempat
pertanaman kentang di dunia. Di Indonesia diketahui bahwa penyakit ini terdapat
di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan dan dijumpai di Amerika
Serikat, Irlandia, Jerman, Thailand, Malaysia, Belanda, dan Kepulauan Pasifik
Selatan. Diduga penyakit ini semula berasal dari bibit kentang yang diimpor
dari Eropa.
Di lapang,
penyakit ini mula-mula menyerang daun kentang atau tomat. Pada infeksi yang berat
seluruh daun yang terinfeksi mem-busuk, sehingga akhirnya tanaman mati.
Penyakit ini juga dapat menyerang umbi kentang, meskipun di Indonesia jarang
ditemukan gejala infeksi pada umbi. Infestasi penyakit hawar daun kentang
tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Tengah, karena Provinsi ini
memiliki area perta-naman kentang yang paling luas, yaitu di Kabupaten
Wonosobo.
Kerusakan oleh penyakit hawar daun dapat mengakibatkan penurunan
hasil antara 10-100%. Di Belarusia (1999),
Phytophthora infestans dapat menyerang daun-daun tanaman bagian atas (daun
muda) pada awal periode pertumbuhan vegetatif tanaman dengan tingkat kerusakan
daun mencapai 80-100% pada varietas yang berumur genjah, dan 70-80% pada
varietas yang berumur sedang dan dalam. Hasil penelitian Sengooba dan
Hakiza (1999), menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat melebihi 90%, jika
patogen menyerang kultivar yang rentan pada awal pertanaman. Penelitian yang
dilakukan di Ethiopia, Kenya, Rwanda, Uganda, dan Burundi menunjukkan bahwa
kehilangan hasil dapat mencapai 40-70%, dan besarnya kehilangan hasil sangat
tergantung baik pada kerentanan varietas maupun pada kondisi lingkungan tempat
tumbuh.
4. KERAGAMAN
GENETIK Phytophthora infestans
Status dan
bentuk alat reproduksi dari Phytophthora infestans menjadi topik kontroversi
setelah Worthington Smith (1875) menyatakan bahwa jaringan kentang yang
terinfeksi oosporanya ditemukan di Inggris. Pada tahun 1876, de Bary mula-mula
menyatakan bahwa oospora yang ada pada jaringan kentang yang sakit adalah
kontaminan Pythium vexans, tetapi 15 tahun kemudian ia menyatakan bahwa oospora
dapat dijumpai pada jaringan kentang yang terinfeksi Phytophthora infestans.
Selanjutnya,
pada tahun 1956 de Bary membandingkan (pairing) isolat-isolatnya dengan isolat
Phytophthora infestans yang berasal dari lembah dataran tinggi Toluka di
Meksiko Tengah dan diperoleh ba-nyak sekali oospora (Niederhauser, 1956; Smoot
et al., 1958). Biasanya mating type A1 membentuk banyak sporangia dan sporangiofora,
sedangkan mating type A2 hanya membentuk agregat hifa saja. Sejak saat itu,
telah dinyatakan bahwa selain isolat Phytophthora infestans dari Meksiko,
isolat dari USA, Kanada, Eropa Barat, Afrika Selatan, dan India Barat tidak
mem-punyai alat reproduksi seksual. Sampai tahun 1984, peneliti pada umumnya
percaya bahwa mating type A2 hanya terdapat di Meksiko, sehingga menimbulkan
pertanyaan.
Penelitian untuk mengidentifi-kasi populasi Phytophthora infestans
menggunakan teknik genetika molekuler berdasarkan olimorfisme isoenzim diawali
oleh Tooley et al. (1985). Setelah itu, banyak peneliti yang mempelajari
ciri-ciri populasi Phytophthora infestans baik secara fenotipik maupun secara
genotipik dengan menggunakan berbagai macam penanda, seperti mating type,
allo-enzyme, sensitifitas terhadap metalaxyl, virulensi, serta sidik jari DNA
nukleus (nuclear DNA fingerprint) dan sidik jari mitokondrial (mitochondrial
DNA fingerprint) menggunakan teknik Restriction Fragment Length
Polymorphism/RFLP.
Gambar 3. Morfologi Phytophthora Infestan
Setelah
dianalisis genotipik alloenzymenya menggunakan enzim malat (Malic enzyme, Me)
hasilnya menunjukkan nilai 90/90, dengan enzim glukose fosfat isome-rase
(glucose phosphate isomerase, Gpi) menunjukkan nilai 100/100, sedangkan dengan
enzim peptidase (Pep) menunjukkan nilai 96/96. Resistensi terhadap Senyawa
Metalaxyl Di masa lalu, fungisida yang berbahan aktif metalaxyl sangat efektif
untuk mengendalikan penyakit hawar daun. Tetapi penggunaannya yang
berkepanjangan telah mengakibatkan munculnya strain Phytophthora infestans yang
resisten terhadap senyawa metalaxyl.
Pada umumnya,
patogen ini berkembangbiak secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa
penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin jantan, tetapi dengan
pembentukan spora yaitu zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang
mempunyai bulu – bulu halus yang bisa bergetar dan disebut cilia, tetapi dapat
juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora, yaitu penggabugan dari gamet
betina besar dan pasif dengan gamet jantan kecil tapi aktif.
5. PENGENDALIAN
PENYAKIT HAWAR DAUN KENTANG
Pengendalian
dengan cara resistensi adalah termasuk semua usaha yang tanaman menjadi imun,
tahan atau toleran terhadap serangan patogen. Yang termasuk dalam resistensi
adalah proteksi silang, ketahanan terimbas, aktivasi pertahanan tanaman,
perbaikan kondisi pertumbuhan tanaman, dan penggunaan varietas tahan.
Penggunaan varietas tahan bila varietas tersebut telah tersedia mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu murah, mudah, aman, dan merupakan salah satu cara
pengendalian yang efektif untuk mengendaliakan penyakit tumbuhan. Penggunaan
varietas tahan juga dapat mengurangi penggunaan fungisida sehingga mengurangi
pencemaran akibat bahan racun tersebut.
Tumbuhan dapat bertahan dari serangan patogen dengan sesuatu
kombinasi dari dua senjata yang dimilikinya, yaitu :
- Sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan
menghambat patogen mendapatkan peluang masuk dan menyebar didalam tumbuhan.
- Reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan
tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi
yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut. Kombinasi antara
sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi
tumbuhan berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen.
Ketahanan terhadap penyakit yang secara genetik dikendalikan oleh
terdapatnya satu, beberapa atau banyak gen untuk ketahanan pada tumbuhan
dikenal dengan ketahanan sejati ( true resistance). Pada ketahanan sejati,
inang dan patogen sedikit banyaknya tidak cocok antara satu dengan yang lain,
baik karena kekurangan pengenalan kimiawi antara inang dan patogen atau karena
tumbuhan inang dapat bertahan dengan sendirinya dalam mengatasi patogen dengan
berbagai mekanisme pertahanan yang telah tersedia, atau diaktivasi, sebagai
respon terhadap infeksi patogen.
Ada
dua ketahanan sejati yaitu ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal.
Ketahanan horizontal adalah ketahanan yang ditentukan oleh banyak gen sama
efektifnya terhadap semua ras pathogen, sedangkan ketahanan vertikal ditentukan
oleh satu gen yang hanya efektif terhadap beberapa ras fisiologi atau strain
patogen dan tidak menyebabkan ketahanan terhadap ras-ras lain.
6. PENELITIAN
PENYAKIT HAWAR DAUN YANG PERLU DILAKUKAN DI INDONESIA
Penelitian
penyakit hawar daun di Indonesia masih terbatas pada identifikasi ras
Phytophthora infestans dan pengendalian penyakit dengan fungisida yangberbahan
aktif metalaxyl saja. Oleh karena itu, kegiatan penelitian lain perlu dilakukan
untuk mendukung keberhasilan upaya pengendalian penyakit hawar daun baik pada
tomat maupun pada kentang seperti koleksi isolat, determinasi mating type, dan
analisis alloenzyme maupun secara biomolekuler. Daun kentang yang terinfeksi
Phytophthora infestans dikumpulkan dari beberapa provinsi di Indonesia.
Potongan daun yang terinfeksi diinokulasikan pada medium agar rye B yang
ditambah ampicillin sodium 200 ppm, nystatin 100 ppm, dan rifampicin 50 ppm
kemudian diinkubasikan di ruang gelap pada suhu 20ºC. Setelah 2 minggu, miselia
akan tumbuh kemudian dipindahkan pada medium agar miring rye A yang ditambah
antibiotik seperti pada medium rye B dan disimpan pada suhu 18ºC di ruang
gelap.
Kemungkinan keberhasilan metode isolasi tersebut besar, karena telah
diperlakukan isolasi Phytophthora infestans dari Pacet dan Lembang (Jawa Barat)
serta Wonosobo (Jawa Tengah) yang gagal dengan memakai metode isolasi yang
dilakukan Mosa et al. (1989), yaitu dengan cara potongan daun kentang yang
terinfeksi Phytophthora infestans diletakkan pada irisan kentang Irish Cobbler
(r) pada kotak plastik yang diberi alas koran yang sudah dilembabkan dengan air
destilasi kemudian diinkubasi pada inkubator dengan suhu 18º-20ºC. Setelah 5-7
hari, miselia akan tumbuh pada irisan kentang tersebut kemudian dipindah ke
irisan kentang baru. Setelah itu, miselia baru yang tumbuh dipindahkan pada
medium agar rye A atau V8 juice 20%.
Determinasi Mating Type Determinasi mating type dilaku-kan dengan
menandingkan setiap isolat yang diperoleh dengan isolat Phytophthora infestans
yang sudah diketahui (tester) A1 dan A2 pada medium agar V8 juice 10%. Isolat
tersebut diamati setelah 7-10 hari diinkubasi pada suhu 20ºC di ruang gelap.
Apabila isolat yang dideterminasi membentuk oospora dengan tester A1 dan tidak
membentuk oospora dengan tester A2 berarti isolat tersebut dikatakan sebagai
A2. Perlakuan setiap
menguji isolat dengan minimal dua ulangan (Mosa, 1992). Analisis Allozyme
Ditemukannya polimorfisme isoenzim pada isolate Phytophthora infestans oleh
Tooley et al. (1985) telah dijadikan sebagai dasar penelitian genetik
Phytophthora infestans. Populasi genetik isolat Phytophthora infestanasal
Meksiko dan dari luar Meksiko polimorfik pada loki (loci) Gpi-1
(glucose-phosphate isomerase) dan Pep-1 (peptidase), tetapi isolat asal Meksiko
berbeda ketika dianalisis dengan enzim ME (malic enzyme).
Analisis
genotipik allozyme isolat Phytophthora infestans di Indonesia, hingga saat ini
baru dilakukan oleh Nishimura et al. (1999), sehingga perlu dilakukan lebih
lanjut. Kepekaan terhadap Metalaxyl Pengujian kepekaan (sensitivitas) terhadap
metalaxyl dilakukan dengan menumbuhkan isolat Phytophthora infestans pada
medium agar rye A dengan menambahkan metalaxyl (0; 0,1; 1; 10; dan 100 ppm).
Setelah 7 hari diinkubasi pada suhu 20˚C di ruang gelap, dengan menghitung ED50
(dosis fungisida yang meng-hambat 50% pertumbuhan miselia). Ternyata dua isolat
A2 dari Indone-sia tahan terhadap metalaxyl 10 ppm dan dua isolat A2 lainnya
tahan terhadap metalaxyl 100 ppm.
7. TAKSONOMI
Domain : Eukaryota
Kingdom : Chromalveolata
Phylum : Heterokontophyta
Diviso : Eumycota Class
: Oomycetes
Ordo : Peronosporales
Family : Pythiaceae
Genus : Phytophthora
Species :
Phytophthora infestans
8. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan melaksanakan
beberapa usaha secara terpadu, antara lain :
• Hanya menanam bibit
yang sehat
• Tidak menanam tanaman
di bekas lahan yang ditanami tanaman sejenis (contoh: kentang,
tomat, terung).
• Penyemprotan dengan
fungisida terutama fungisida yang mengandung tembaga hidroksida
(Kocide 77WP), fungisida berbahan aktif
mankozeb, propinep atau maneb. Pelaksanaan
penyemprotan tergantung pada keadaan
cuaca. Setiap habis hujan lebat penyemprotan
dianjurkan untuk diulangi.
• Menanam jenis - jenis
tanaman yang tahan.
• Menjaga kebersihan
lahan, sisa-sisa tanaman yang sakit harus segera dimusnahkan (dibakar) agar daur hidup jamur dapat diputuskan.
KESIMPULAN
• Meskipun Phytophthora infestans merupakan salah satu penyakit
terpenting pada tanaman kentang di Indonesia, namun
informasi penelitian tentang variasi mating type, strain resisten metalaxyl, epidemilogi, dan varietas tanaman yang
resisten, masih sangat terbatas sehingga strategi pengendaliannya sulit diterapkan.
• Hawar daun kentang dan
busuk (umbi) kentang, disebabkan oleh Phytophthora infestans , dan menyebabkan
Kelaparan Besar Irlandia di pertengahan abad ke-19. Akibat wabah ini, penduduk Irlandia berkurang
30% dan terjadi emigrasi besar-besaran dari Irlandia ke Amerika Serikat.
• Perubahan populasi
mating type A1 dan A2 di Indonesia masih perlu dipelajari menggunakan variasi populasi
indigenous.
• Populasi mating type
A2 di Indonesia yang diduga secara genetik merupakan turunan A1 masih perlu konfirmasi
lebih lanjut tentang sensitivitasnya terhadap metalaxyl.
• Hawar Alternaria
atau bercak kering/coklat, yang menyerang kentang dan tomat, disebabkan oleh fungus
kosmopolit Alternaria (terutama A. solani)
• Penggunaan varietas
tahan merupakan salah satu cara pengendalian hawar daun ini.
Daftar Pustaka
•
http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/.
• http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/.
•
http://www.deptan.go.id/setjen/humas/berita/Serangan%20OPT.htm
• Dr. Suryo Wiyono Departemen Proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor
• Anderson, PA. AA Cunningham, NG Pate, FJ Morales, PR
Epstein, P. Daszak. 2004. Emerging infectious
diseases of plants: pathogen pollution,
climate change and agrotechnology drivers. Trends in Ecol. and Evol. 19:
535-543
• Bonaro, O., A Lurette,, C Vidal, J Fargues. 2007.
Modelling temperature-dependent bionomics of Bemisia
tabaci (Q-biotype) Physiological
Entomology,32: 50-55
• Chakraborty, S, G Murray, N. White. 2002. Impact of
Climate Change on Important Plant Diseases in
Australia. A report for the Rural
Industries Research and Development Corporation by April 2002. RIRDC
Publication No W02/010
• Chen, C. N., Huang, L. H., 2004. Temperature effect on
the life history traits of Thrips palmi Karny
(Thysanoptera: Thripidae) on eggplant leaf..
Plant Protec. Bull. (Taipei), 46 : 99-111
• Boland, G.J. M.S. Melzer, A. Hopkin, V. Higgins, and A.
Nassuth. 2004. Climate change and plant diseases
in Ontario. Can. J. Plant Pathol. 26:
335–350
• Garret, K.A., S.P. Dendy, E.E. Fraih, M.N. Rouse, S.E.
Travers. 2006. Climate change effect to plant
disease: genome to ecosystem. Ann, Rev.
Phytopathol 44;489-509
• Heagle, A.S. J. C. Burns, D. S. Fisher, And J. E.
Miller. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on leaf
chemistry and reproduction by twospotted
spider mites (Acari: Tetranychidae) on white clover. Environ.
Entomol. 31: 594-601
• Hikmah, Y. 1997. Tingkat parasitasi larva Spodoptera
exigua pada musim hujan dan musim kemarau.
Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian IPB.
• Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT
Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta.
• Schwartz, H.F. dan S.K. Mohan. 1995. Compendium of Onion
and Garlic Diseases. APS Press. Minnesota
• Semangun, H. 1989. Penyakit Penyakit Tanaman
Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
• Tondok, E. 2001. The Causal Agent of Twisting Disease of
Shallot. Master Thesis. University of Goettingen,
Germany
• Thesis. University of Wisconsin, Madison Webster, R.K.
dan D.S. Mikkelsen. 1992. Compendium of Rice Diseases. APS Press. Minnesota
• Wiyono, S.
1997. Succession and Diversity of Shallot Phylloplane Fungi: Its Relation to
Purple Blotch Disease. Master Thesis. University of Goettingen, Germany